Sabtu, 25 Januari 2014

Langkah Suamiku

Dua puluh enam Desember dua ribu tiga belas, menjelang akhir tahun yang menjadikan suamiku sangat sibuk; memeras tenaga; memeras pikiran. Di satu sisi ia mengejar program kelulusan kuliahnya yang tinggal selangkah, di sisi lain ia mendapat kabar bahwa di perusahaan tempat ia bekerja akan menerapkan kebijakan bagi para pekerja dimana suamiku adalah termasuk salah satu yang akan terimbas akibat kebijakan tersebut.

Setiap hari, berangkat ke kampus yang selalu ia sanjung dan banggakan. Pukul 6 pagi sudah berangkat demi ketepatan jam masuk perkuliahan yang terjadwal jam 7 pagi. Belajar mendalami bahasa inggris dimana standart kelulusan yang ditetapkan kampusnya sangatlah tinggi. Sampai siangnya, istirahat dan ia gunakan sholat di "Manarul Ilmi". Menyisakan sedikit waktu ia gunakan untuk googling sembari menunggu jadwal masuk sesi kedua.

Tepat pukul setengah tiga sore, perkuliahan pun usai. Ia segera memacu motor menuju ke kantornya. Sedikit obrolan dengan rekan dan atasannya, lalu mengambil beberapa pekerjaan yg bisa ia kerjakan di rumah.

Menjelang maghrib kulihat sosok yang tak asing menaiki motor yang tak asing pula bagi saya. Helm dibuka, dengan wajah kusam menyiratkan suatu kelelahan yang hebat. Ia kusambut dengan senyum walau hati menangis "kasihan engkau, yank". Pendek kata, sesampai di rumah, ia cerita apapun aktifitasnya tadi. Selepas Isya' ia membuka laptop tuk memulai pekerjaan kantor yang tak sempat dikerjakan saat jam kerja. Sampai tengah malam pun tak ia hiraukan. Hanya sedikit obrolan dan secangkir kopi yang bisa saya berikan. Tapi segunung dukungan selalu kuberikan.

Kini satu beban telah terselesaikan, intensif perkuliahan telah rampung dijalaninya. Dan Alhamdulillah, dengan keteguhan; kemauan; dan kerja keras, akhirnya ia mendapatkan score 480 english foefl test. Dimana itu sudah lebih dari memuaskan, katanya.

Satu beban lagi masih ia jalani, dimana perusahaan menerapkan kebijakan peralihan kewenangan dari perusahaan induk menjadi kewenangan koperasi. Selama masa transisi, ia tak mau masuk kerja. Dengan artian selama kontrak kerja dengan instansi pelimpahan belum ditandatangani, ia tidak akan melakukan absensi sidik jari. Ketika kutanya, jawabannya mengarah ke profesionalitas. Tapi, kenapa pada saat masa transisi, masih saja membawa pekerjaan2 yang tak terselesaikan untuk dikerjakan di rumah? Aku memberi saran untuk mengundurkan diri saja, tapi ia tak mau serta merta  resign. Ia mengatakan kalau di perjanjian kontrak nanti tidak ada kata sepakat maka disitulah ia akan mengundurkan diri. Akupun mendukung sepenuh hati, apa yang ia putuskan, karena putusannya juga untukku dan untuk keluarga.

Dalam do'aku, bila rizqi kami masih di perusahaan itu, InsyaAllah nanti akan ada kesepakatan antara suamiku dan perusahaan tersebut. Dan bila rizqi kami ada diluar perusahaan itu, mudah2an Allah menunjukkan jalan dimana kami harus mengambilnya.

Dan Alhamdulillah, Januari, hari ke 15 telah terjadi kesepakatan dimana suamiku menerima draft yang diajukan perusahaan, dan perusahaan juga masih mau memakai jasa suamiku.

Syukur kami padaMU, Ya Allah...
Memberikan segala petunjuk disetiap langkah
Supaya kami bisa tingkatkan rasa syukur dan taqwa

Ya Allah, lindungilah aku
Lindungilah suamiku
Lindungilah keluargaku

Amin.....

Minggu, 01 Desember 2013

Langkah Sang Pemalas

Sore cerah sedikit mendung membawaku pada sebuah rutinitas. Desiran angin berbisik pada bambu bambu kering menyuruhku lekas  melangkah dalam sebuah efektifitas waktu. Lambaian rerumputan menegurku tiada henti, untuk apa kamu di sini, segeralah berlari selesaikan tugas hari ini.

Lekas ku berlari lambai, setapak demi setapak lunglai terus ku telusuri. Bekas jejak basah masih menampakkan langkah pasti. Mengajakku sampai tujuan yang tak pasti.

Sesampainya aku terduduk sepi. Sesekali ditemani tarian burung camar menyapaku dengan santai. Hai pemalas, bangkit dan laksanakan tugas mu. Sapaan harian yang kuanggap bak angin lalu.
Ku tetap terduduk merenungi sebuah ilusi. Bayangan pasti campakkan hati, kenapa tidak di sini. Sosok lamunan kembali datang menemaniku. Andai sebuah bayangan menemaniku duduk di sini, terasa santai dan bermalas sudi.

Sampai datang temanku si petir yang tegas dan keras sambil membawa cambuk semangat. Tanpa bicara dia menyapaku dengan kasar. Menyodorkan cambuk silau diiringi gelegar gema mengagetkanku. Tersentak aku bangun dari duduk. Mengabaikan jejak basah, tak kuhiraukan camar menari menertawakanku, kubiarkan omelan rumput yang mulai enggan melambai dan hinaan angin tersampaikan pada daun-daun bambu yang semakin menjadi. Menghina sang pemalas yang tak punya tujuan, mengedepankan ilusi, berteman halusinasi tanpa pedulikan prestasi. Seolah cukup sebuah jati diri mengandalkan gagasan basi sapaan sudi tanpa aktifitas pasti.